Skip to main content

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN SUBSTANSI POLITIK INDONESIA

Hubungan kerja sama antar bangsa di dunia menjadi hal yang sangat penting di era sekarang ini. Hal tersebut disebabkan karena setiap negara, khususnya Indonesia, tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Langkah yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan hubungan kerja sama dengan negara lain adalah dengan adanya kebijakan luar negeri atau yang sering kita kenal dengan politik luar negeri.

Politik luar negeri Indonesia telah melewati masa pertumbuhan yang cukup lama, dan tentu tidak dapat dilewatkan begitu saja. Pasang-surut perjuangan dari para stakeholders Indonesia di luar negeri, serta diplomasi politik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan mereka diberbagai forum internasional, untuk membela kepentingan nasional (national interest) Indonesia.

M. Budiana (2014) menyatakan bahwa sistem politik Indonesia adalah sebuah sistem politik demokratis yang bersendikan nilai-nilai lokal (local value) bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945.[1] Bentuk penerapan politik luar negeri yang menempatkan pancasila sebagai landasan idiil adalah pelaksanaan politik luar negeri “Bebas Aktif. Politik luar negeri yang bebas aktif mengandung dua unsur pokok. Pertama, "bebas" biasanya diartikan tidak terlibat dalam aliansi militer atau pakta pertahanan dengan kekuatan luar negeri. Dalam arti lebih luas politik luar negeri yang bebas menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi, yang menolak keterlibatan atau ketergantungan terhadap pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kedua, kata "aktif" menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia tidaklah pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalahan-permasalahan internasional. Pembukaan UUD 1945 secara jelas menuntut Indonesia untuk menentang segala bentuk penjajahan dan ikut memajukan perdamaian dunia. Dengan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia memainkan peranan yang cukup besar di panggung internasional dalam dua dekade pertama kemerdekaan.

Dekade pertama pada saat awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif menimbulkan sikap bangsa Indonesia yang tidak memihak antara dua blok besar di dunia, yaitu blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet yang pada saat itu sedang bersitegang. Ketegangan kedua blok tersebut memunculkan unjuk kekuatan secara militer dan politik, sehingga mengancam perdamaian dunia. Untuk itu Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang beranggotakan negara-negara yang tidak mendukung salah satu blok. Sekaligus sebagai organisasi untuk menjaga perdamaian dunia dan meningkatkan taraf ekonomi negara-negara non blok yang sebagian besar negara berkembang.

Walaupun doktrin politik luar negeri bebas aktif yang dicetuskan Drs. Moh. Hatta disepakati bangsa Indonesia sebagai strategi yang tepat, pada kenyataannya mengimplementasikan doktrin tersebut tidaklah mudah. Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya, menghadapi dilema antara keinginan berdaulat dan tuntutan pembangunan. Hal tersebut sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri dan menggoyahkan penerapan pancasila sebagai landasan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Perkembangan politik luar negeri dari awal kemerdekaan hingga masa reformasi menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas. Munculnya beberapa penyelewengan pelaksanaan politik luar negeri dari nilai-nilai pancasila yang menimbulkan banyak masalah dalam negeri maupun luar negeri yang mengancam stabilitas nasional.

            Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kebijakan luar negeri? Kebijakan luar negeri adalah sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.

Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep pilihan (choice). Memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep wilayah akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti pengawasan atas wilayah yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan keluar wilayah suatu negara.

 Dalam perwujudan operasionalnya, politik luar negeri suatu negara senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Penyesuaian itu, bagi Indonesia, berarti aktif berperan dalam mengusahakan agar perubahan dan perkembangan itu mengarah kepada terwujudnya dunia yang lebih damai, lebih adil dan lebih sejahtera menuju sasaran-sasaran kepentingan nasional. Karena itu, diplomasi Indonesia merupakan suatu upaya besar untuk menghimpun berbagai unsur kekuatan nasional secara maksimal guna mempertahankan kepentingan nasional secara langsung.[2]

 

1.      LANDASAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Prinsip bebas aktif digunakan sebagai landasan operasional politik luar negeri Indonesia. Menurut Hatta, politik “Bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk mengatasi persoalan internasional. Istilah “Aktif” berarti upaya untuk bekerja lebih giat guna menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan kedua blok (Mohammad Hatta, 1976:17).[3]

Agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalkan dalam politik luar negeri, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri yang  senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional. Pada masa Orde Lama, landasan operasional politik luar negeri sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato–pidato Presiden Soekarno, antara lain Maklumat Politik Pemerintah yang dikeluarkan pada 1 November 1945, pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita (Jarek)” pada tanggal 17 Agustus 1960, serta pernyataan Presiden Soekarno dalam “Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”.[4]

Landasan idiil politik luar negeri Indonesia adalah dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Adapun landasan konstitusional politik luar negeri adalah UUD 1945 alinea pertama dan alinea keempat, serta pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 11 dan Pasal 13.[5]

 

2.      JENIS KEPENTINGAN NASIONAL POLITIK 3 ZAMAN

Pada masa Orde Lama, jenis kepentingan nasional yang muncul lebih pada kepentingan akan pertahanan dan keamanan. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi dalam negeri yang baru saja merdeka sehingga operasionalisasi politik luar negeri lebih ditekankan pada masalah pengakuan kedaulatan dan penuntasan dekolonisasi.[6]

Jenis kepentingan nasional yang kemudian muncul pada era Orde Baru berbeda dengan jenis kepentingan nasional era Orde Lama. Orde Baru muncul ditengah kesulitan ekonomi warisan Orde Lama. Oleh karena itu, prioritas utama dari politik luar negeri pada era ini adalah kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan negara lain.

Meskipun tidak sama persis, kemunculan Orde Reformasi juga mewarisi kondisi ekonomi yang buruk akibat krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 - 1998. Hal ini menempatkan kembali jenis kepentingan ekonomi sebagai salah satu prioritas politik luar negeri Orde Reformasi. Disebutkan sebagai salah satu prioritas karena ada prioritas lainnya yaitu pemulihan citra Indonesia dimata internasional. Selain itu, warisan masalah era Orde Baru masih ada, yaitu KKN.

 

3.      PENYELEWENGAN PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA

Pada masa Orde Lama terjadi penyelewengan terhadap implementasi nilai Pancasila. Sebagai contoh, adanya penyelewengan pada sila  keempat  yang  mengutamakan  musyawarah dan mufakat. Namun  tidak dapat  dilaksanakan,  sebab  demokrasi  yang  diterapkan  pada tahun 1945-1950 adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi  sebagai kepala negara, sedang  kepala  pemerintahan dipegang  oleh  Perdana  Menteri.  Sistem  ini menyebabkan  tidak  adanya stabilitas pemerintahan.

Pada periode 1959-1965 menerapkan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat yang berdasarkan nilai-nilai  Pancasila,  tetapi  berada  pada  kekuasaan  pribadi Presiden  Soekarno. Presiden Soekarno melakukan pemahaman pancasila dengan paradigma yang disebut dengan USDEK[7] dan menyebarkan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Situasi tersebut membuat pengaruh PKI makin hari makin kuat dan berkembang, bahkan kemudian ada upaya-upaya untuk memeras Pancasila menjadi Trisila, lalu kemudian diperas lagi menjadi Ekasila.[8]

Pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan DI/TII yang ingin mendirikan negara dengan dasar Islam merupakan salah satu upaya PKI untuk mengganti Pancasila dengan paham komunis.[9] Adanya campur tangan PKI dalam penyelewengan nilai Pancasila ini juga berpengaruh pada politik luar negeri yang dijalankan pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

Semasa Orde Lama, gaya dan pola politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan sangat aktif.[10] Dalam masa pemerintahan Soekarno, terjadi penyimpangan terhadap kebijakan politik bebas aktif Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan “mercusuar[11]” yang dilakukan oleh Ir. Soekarno.[12]

Indonesia ingin menempatkan diri pada kedudukan terkemuka di kalangan negara Nefo.[13] Demi melaksanakan politik mercusuar ini, Indonesia membuat proyek-proyek raksasa politik, seperti pembangunan Monumen Nasional (Monas) dan menyelenggarakan Games Of The New Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta pada 10-22 November 1963. [14]

Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah RI agak condong bersahabat dengan negara-negara komunis. Hal ini disebabkan keterlibatan blok Barat terhadap dalam pergolakan PRRI/Permesta. Kemudian, negara-negara Barat juga bersikap pasif dalam upaya pengembalian Irian Barat, sedangkan blok Timur bersikap sebaliknya. Kedekatan RI dengan negara-negara komunis semakin nyata tatkala RI keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1956.[15] Tindakan ini jelas merupakan pengingkaran terhadap prinsip bebas dari ikatan blok dunia dan tidak mengarah pada cita-cita PBB, yaitu perdamaian universal, walaupun tidak secara langsung menyandarkan diri pada salah satu blok besar pada masa itu.

Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia. Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional karena menyimpang dari sila kelima Pancasila. Oleh karena itu, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.[16]

 

4.       PENYELEWENGAN PADA ORDE BARU

Setelah penggulingan Soekarno dari pemerintahannya, Orde Baru berusaha mengembalikan politik bebas aktif Indonesia yang sempat diselewengkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Peristiwa G30S/PKI merupakan kulminasi[17] ketegangan politik bangsa Indonesia. Setelah Orde Baru naik, segera dilakukan usaha-usaha mengembalikan politik bebas aktif bangsa Indonesia.

Diantaranya, konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dengan melalui perjanjian tanggal 11 Agustus 1966, Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak, dan Menlu Indonesia, Adam Malik, di Jakarta. Kemudian diikuti pemulihan hubungan diplomatik pada tahun 1967. Sehubungan dengan G30S/PKI, negara Indonesia menutup hubungan diplomatik dengan Peking (China) pada tanggal 30 Oktober 1967.

MPRS mengeluarkan beberapa ketetapan untuk menjaga politik bebas aktif Indonesia. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 menegaskan kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Ketetapan ini juga didukung oleh Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif Indonesia ditempuh dengan cara sebagai berikut. Indonesia aktif kembali sebagai anggota PBB. Indonesia pernah menjadi anggota PBB tahun 1950-1965. Oleh karena itu, muncul usulan dari anggota DPRGR agar Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Pada tanggal 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di PBB setelah sempat keluar pada tanggal 1 Januari 1965.

Selain itu, sebagai dampak dari politik luar negeri zaman Orde Lama, hubungan bilateral Indonesia dengan berbagai negara sempat renggang. Oleh karenanya, Orde Baru berkewajiban memulihkan kembali hubungan tersebut. Demikian pula, Indonesia berusaha membersihkan oknum-oknum G30S/PKI yang masih bercokol di tubuh organisasi-organisasi internasional yang bersifat nonpemerintahan.

Orde Baru bertekad melaksanakan politik bebas aktif secara murni dan konsekuen. Perjalanan politik luar negeri bangsa Indonesia pada masa Orde Baru dapat dikatakan tidak mengalami masalah yang berarti berkaitan dengan ketegangan suatu negara. Namun, hal ini bukan berarti tidak terjadi masalah dengan negara-negara lain. Apabila pada masa Orde Lama, pemerintah lebih dekat dengan blok Timur, maka sesungguhnya pada masa Orde Baru pemerintah Indonesia cukup erat berpegangan tangan dengan blok Barat.

Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen  sebagai kritik  terhadap orde  lama yang  telah menyimpang  dari Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa.

Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan. Beberapa  tahun kemudian kebijakan-kebijakan  yang dikeluarkan  ternyata tidak  sesuai dengan  jiwa Pancasila. Pancasila  ditafsirkan  sesuai  kepentingan  kekuasaan  pemerintah  dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan dan pelanggaran HAM  terjadi  dimana-mana, hal itu dilakukan  oleh  aparat  pemerintah  atau  negara.[18] Banyak terjadi kasus korupsi yang termasuk pelanggaran sila kelima Pancasila. Pancasila selama Orde Baru  diarahkan menjadi  ideologi  yang  hanya menguntungkan  satu golongan,  yaitu  loyalitas  tunggal  pada  pemerintah.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan rupiah, menaikkan tingkat suku bunga domestik, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Karena krisis ekonomi, terjadi PHK besar-besaran. Sebenarnya, Indonesia enggan mengundang IMF[19] dalam permasalahan ini, karena masuknya IMF selalu disertai dengan persyaratan yang berat.[20] Tetapi karena pilihan peminjaman bantuan kepada IMF adalah yang paling memungkinkan, maka bagaimanapun juga langkah tersebut harus diambil. Peran IMF terhadap Indonesia tersebut tentu tidak luput dari peran Amerika Serikat. Hal ini sangat terasa karena pada keadaan genting sekalipun Indonesia tidak dapat menentukan keadaan negaranya sendiri.

Pada masa krisis moneter pertengahan 1997, puluhan juta orang terdepak ke bawah garis kemiskinan. Namun IMF (dan Bank Dunia) tetap memaksa pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi[21] ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara[22]. Disamping itu, pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah. Seluruh tekanan itu justru meluaskan kemiskinan. Kebijakan ini diberikan dengan membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor melalui pengurangan subsidi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan). Termasuk menghilangkan subsidi pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak.

Karena Amerika Serikat adalah negara yang berpengaruh paling kuat dalam IMF, maka patuhnya Indonesia pada IMF ini dapat dikatakan pula patuhnya Indonesia pada Amerika. Hal ini menunjukkan politik luar negeri Indonesia yang condong ke barat. Karena, mau tidak mau Indonesia harus menunjukkan kerjasama yang baik dengan Amerika Serikat (Barat). Kemiskinan yang terjadi akibat krisis keuangan ini tentu saja merupakan pelanggaran Pancasila sila kelima, di mana kesejahteraan rakyat ditelantarkan dan kemiskinan merajalela akibat pengangguran dan tingkat inflasi yang tinggi.[23]

 

5.       NILAI PANCASILA DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Pancasila merupakan ideologi dasar bangsa Indonesia. Pancasila adalah nilai-nilai yang mendasari segala aspek kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Terdapat lima sendi utama pada Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Khidmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut memiliki makna yang sangat luas khususnya bagi implementasi Pancasila dalam politik luar negeri Indonesia.

Berikut adalah kaitannya dengan politik luar negeri Indonesia: Ketuhanan Yang Maha Esa yang memiliki makna banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam politik luar negerinya yang berhubungan dengan hal kepercayaan atau agama. Implementasinya dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yaitu tergabungnya Indonesia dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Keaktifan Indonesia dalam dialog antaragama, baik domestik maupun internasional, menandakan Indonesia mengupayakan agar terciptanya toleransi antarumat beragama.

Selanjutnya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. Sila ini sangat berkaitan sekali dengan penegakan Hak Asasi Manusia. Banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam politik luar negeri terkait masalah ini, diantaranya, ikut bergabung menjadi anggota PBB.

Sila Persatuan Indonesia sangat berkaitan sekali dengan politik bebas aktif karena dengan adanya politik bebas aktif sendiri, Indonesia bebas untuk berteman dengan negara manapun dan aktif dalam menjaga perdamaian. Contoh nyatanya ialah berdirinya ASEAN dan Gerakan Non Blok (GNB) karena adanya rasa kebersamaan dan persatuan diantara negara-negara yang pernah terjajah. Hal ini dilakukan guna menumbuhkan persatuan antarnegara di tingkat regional maupun internasional (global).

Sebuah keputusan pada intinya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini, diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas Bangsa Indonesia. Sila keempat ini mau menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang mengutamakan budaya rembuk atau musyawarah dalam mengambil keputusan  yang berhubungan dengan kebijakan baik dalam maupun luar negeri.

Setiap kebijakan luar negeri Indonesia harus mementingkan kepentingan rakyat bukan kepentingan pihak-pihak tertentu. Harus adil dimana tidak ada perbedaan-perbedaan. Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan memang berdasarkan aspirasi dari masyarakat. Mempertahankan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, serta menjamin kelangsungan berbangsa dan bernegara adalah salah satu contoh pengimplementasian sila kelima Pancasila.

            Lalu bagaimana seharusnya ceminan politik luar negeri bebas-aktif Indonesia?

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, dengan demikian, dalam praktiknya dapat diintepretasikan menjadi dua hal yang sangat berbeda. Kebijakan luar negeri Soekarno berbeda sekali dengan yang dimiliki Soeharto. Selain menunjukkan perbedaan yang siginifikan, kebijakan luar negeri Indonesia tersebut dapat dilihat dari kecondongan bloknya. Mengingat ketika Soekarno, Indonesia sangat condong ke Uni Soviet (Timur). Sedangkan ketika Soeharto, Indonesia sangat condong ke Amerika (Barat).

Di era reformasi, dinamika global yang penuh dengan tantangan dan sekaligus peluang menuntut kemampuan negara untuk melihat perkembangan dan menetapkan kebijakan dan strategi hubungan luar negeri yang tepat, agar mampu berkiprah untuk menarik keuntungan yang maksimal bagi kepentingan nasional. Di tengah perubahan dunia yang semakin cepat, persaingan bangsa yang semakin ketat dan substansi permasalahan hubungan antarnegara yang bersifat kompleks, politik luar negeri Indonesia sebaiknya proaktif mengikuti arus perubahan internasional. Oleh karenanya, politik luar negeri Indonesia harus antisipatif, adaptif, responsif, pragmatis, dan fleksibel dengan menetapkan kembali kebijakan, prioritas, strategi, dan isu-isu strategis yang akan dipilih, dirumuskan, dan dilaksanakannya.[24]

Kerjasama dan persahabatan antarbangsa perlu memanfaatkan berbagai forum dan organisasi internasional. Demikian pula dengan Indonesia. Meningkatkan peran Indonesia dalam PBB, ASEAN, Asia Pasifik, Gerakan Non Blok, OKI, dan kerjasama antarkawasan merupakan manfaat menjalin relasi yang baik antarnegara, baik dalam tingkat regional maupun internasional. Di samping itu, hubungan luar negeri perlu dikembangkan untuk meningkatkan citra Indonesia yang positif di luar negeri, meningkatkan investasi dan pasar komoditas ekspor Indonesia, serta melindungi kepentingan dan hak-hak Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, serta aktif dalam memberikan bantuan kemanusiaan di luar negeri.

Bagaimanapun juga Indonesia adalah negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Oleh karena itu, apabila segala macam kebijakan negara dilaksanakan menyimpang dari Pancasila ataupun tidak konsekuen maka dapat dipastikan bahwa situasi negara Indonesia akan kacau, seperti kehilangan arah dan tujuan. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai kebijakan Orde Lama dan Orde Baru yang dalam praktik penyelenggaraannya menyelewengkan sila dalam Pancasila. Pancasila sebagai pandang hidup bangsa (way of life), menjadi pedoman bagaimana suatu negara memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta menjadi pedoman bagaimana bangsa itu membangun kepribadian dirinya.



[1] Lihat dalam Kardiman, Yuyus, Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas X, (Jakarta : Penerbit Erlangga,2006), hlml. 95


[2] Lihat dalam
Sularto,St.(Editor), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, (Jakarta: Kompas, 2001), him 90-91.

[3] Lihat dalam Hatta, Mohammad, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, (Jakarta: Tintamas,1953), hlm. 1-31.

[4]  Lihat dalam Mulyani, Endang. 2006, Buku Khazanah Ilmu Pengetahuan Sosial 3, (Solo : Penerbit Tiga Serangkai, 2006), hlm. 98-99.      

[5] Lihat dalam Alami, Atiqah Nur. 2008. ”Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 26-59.

[6] Dekolonisasi adalah penghapusan daerah jajahan

[7] Presiden Soekarno menambahkan 5 hal dalam intisari manipol yaitu UUD 1945; Sosialisme Indonesia; Demokrasi Terpimpin; Ekonomi Terpimpin; Kepribadian Indonesia. Kelima hal itu kemudian disingkat menjadi USDEK.

[8] Yang dimaksud Ekasila ialah gotong-royong. Jelas hal ini tidak masuk akal dan sangat mengecilkan makna Pancasila sebagai dasar negara. Tujuan PKI untuk menggeser Pancasila dibuktikan dengan pernyataan D.N. Aidit yang berbunyi “Pancasila itu hanya sebagai pemersatu. Kalau rakyat sudah bersatu maka Pancasila tidak diperlukan lagi.”

[9] Ibid., hlm. 102.

[10] Indonesia gencar mendesak Belanda dan juga negara-negara lain untuk membantu Indonesia dalam upaya memperoleh pengakuan kedaulatan. Sejak tahun 1950-an hingga akhir Orde Lama pada tahun 1966, Soekarno secara perlahan semakin mendominasi dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

[11] Politik “mercusuar” adalah politik yang mengejar kemegahan di tengah pergaulan bangsa.

[12] Lihat dalam Romli, Lili, Democrazy Pilkada, (Jakarta : LIPI, 2007), hlm. 87

[13] New Emerging Forces (Nefo) bermakna kekuatan baru yang sedang muncul. Anggotanya terdiri dari negara-negara progresif-revolusioner yang antiimperialis dan antikolonialis, seperti Indonesia, RCC, Vietnam Utara, Korea Utara, Rusia, Polandia, dan Rumania.

[14] Ganefo merupakan pesta olahraga akbar di Indonesia yang diikuti negara-negara Nefo.

[15] Lihat dalam Kurnia, Anwar, Sejarah 3 : Kelas IX, (Solo : Penerbit Yudhistira, 2007), hlm. 130

[16] Lihat dalam Sukmayani, Ratna dkk,  Ilmu Pengetahuan Sosial 3, (Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasiona, 2008), hlm. 73

[17] Kulminasi ialah puncak tertinggi; tingkatan tertinggi

[18] Beberapa  tahun kemudian kebijakan-kebijakan  yang dikeluarkan  ternyata tidak  sesuai dengan  jiwa Pancasila. Pancasila  ditafsirkan  sesuai  kepentingan  kekuasaan  pemerintah  dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan dan pelanggaran HAM  terjadi  dimana-mana, hal itu dilakukan  oleh  aparat  pemerintah  atau  negara.

[19] IMF adalah singkatan dari International Monetary Fund yaitu organisasi dunia yang bertugas mengatur sistem keuangan internasional dan menyediakan pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkannya.

[20] Lihat dalam Cyrillus Harinowo, IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF (Jakarta, PT Gramedia Utama, 2004), hlm. 31

[21]  Kegiatan atau proses menghapuskan pembatasan dan peraturan.

[22] Privatisasi adalah pengalihan aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

[23] Berdasarkan wawancara dengan Ibu Veronika Sintha Saraswati, PhD. selaku dosen Fakultas  Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.  (fokus studi : Asia Pasifik dan Metodologi Riset)

 

[24] Prinsip politik bebas aktif dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia harus disesuaikan dengan dinamika nasional, regional, dan internasional (global). Prinsip politik bebas aktif diimplementasikan secara lebih pragmatis, proaktif, fleksibel, akomodatif, dan asertif. Hal itu dilakukan untuk mengoptimalkan kontribusi internasional Indonesia dan mencapai kepentingan nasional secara menyeluruh, baik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan masyarakat, maupun menciptakan ketertiban dunia.

Comments

Post a Comment